Rabu, 18 Agustus 2010

Cerpen: Panjak Kali Wetan

Rabu, 18 Agustus 2010 0

Aku, satu waktu masih saja mendengar cerita tentang keberadaan tobong Wijaya Kusuma. Kelompok Ludruk di Jombang pimpinan Cak Madun. Melalui cerita tersebut aku dibawa mengaliri arus kehidupan Mbok Narsi. Perempuan tua yang sejatinya lahir sebagai lelaki namun dunia panggung Wijaya Kusuma lah yang memberikan ruang jiwa perempuan pada tubuh Mbok Narsi.
42 tahun lamanya dia bermain lakon, pengabdian yang akan melebihi setia abdi pada raja-raja jawa sekiranya panggung tobong miliknya tidak musnah diberangus.
….
“Wak Bayan ngeloni sapi, jarene prawan wetheng e kok geedi”, parikan itu masih lancar meluncur dari bibir keriput Mbok Narsi, sayup-sayup kudengar, suaranya yang serak menembus telingaku bersama aroma asap tungku pawon yang menyeruak hidung dan memaksa aku bangun.
“lee…. Somad… arek ganteng….Itu airnya sudah panas, bangun, sana kalau mau bikin kopi”, itulah keseharian ku, hidup bersama Mbok Narsi. Aku selalu dibangunkan oleh parikan-parikan yang masih dihafal betul oleh perempuan tua itu dan air panas yang selalu disediakannya untuk kuracik bersama dua sendok kopi bubuk dan sesendok gula pasir, sebelum aku bersiap berangkat kerja.
Pagi itu udara dingin begitu bebas menembus celah-celah gedhek, Mbok Narsi masih berlanjut, memegang gagang sapu dan seakan sibuk membersihkan pekarangan rumah yang hanya dua meter persegi. Aku duduk berteman segelas kopi dari meja yang menghadap lurus ke halaman, memandang jelas tubuh renta wanita itu. Entah pikiran apa yang memaksaku kembali menanyakan banyak hal tentang diriku, keberadaan ku bersama mbok Narsi sejak kecil, dirawat selayaknya anak sendiri, hingga saat ini aku menjadi lelaki dewasa yang bekerja sebagai kuli panjat perkebunan Cengkeh di Wonosalam.
Sekian lama aku sudah meredam pikiran itu dan telah pula kumantapkan di hati bahwa menemukan jawaban tentang siapa aku sama sekali tidak penting, karena ada hal yang lebih penting yakni menikmati hidup bersama Mbok Narsi, seniman ludruk yang setiap lekuk keriputnya menerjemahkan perjalanan panjang pengayom seni tradisi.
Saat Mbok Narsi masih bergulat dengan sapu dan halaman pekarangan, aku semakin larut dalam lamunan masa kecil ku, dua puluh tahun yang lalu, aku, Somad kecil yang akrab dengan dunia ludruk. Ludruk yang ku kenal saat kecil memiliki bagian-bagian yang runtut, dari tari ngremo dan kidungan, dagelan, dan alur cerita. Tiga bagian tersebut merupakan unsur yang tak terpisahkan di setiap pementasan ludruk, seperti yang dilakoni mbok Narsi.
Sementara itu, dua puluh tahun lalu ketika aku belum genap umur 5 tahun, saat kelompok tobong Wijaya Kusuma menggelar pementasan dan aku ikut didalam rombongan. Waktu itu panggung mulai ramai mendatangkan penonton dan pertunjukan pun dimulai dengan tari Ngremo yang merupakan tari Jawa Timur-an, sebuah gerakan tari yang mengambil filosofi kepahlawanan, kemudian disambung kidung atau parikan yang merupakan nyanyian berbentuk puisi lirik yang terdiri atas syair dan pantun yang diiringi rancak bebunyian gamelan Jawa Timur-an.
Ludruk, konon lahir sebagai sebuah konsep kesenian yang anti kemapanan, aku tahu betul itu karena struktur masyarakat Jawa Timur dahulu sangat feodal dengan corak kekuasaan yang penuh skandal dan korup, bagaimana jarak sengaja diciptakan antara rakyat dan status sosial seorang lurah atau bupati serta keluarganya. Jarak yang masih tersisa hingga sekarang. Dalam dominasi corak kekuasaan tersebut, dari pada melawan secara frontal, masyarakat memilih bentuk pasemon (sindiran) menjadi gerbang artikulasi yang populer untuk melahirkan kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu yang dipraktikkan dengan ludruk sebagai medianya, dengan parikan sebagai pedang yang tajam dan siap mblejeti (menelanjangi) kebejatan-kebejatan moral sosial politik penguasa lewat permainan katanya yang kocak. Seperti cerita yang sering didongengkan Mbok Narsi, cerita tentang sosok Cak Durasim yang begitu berani meneriakkan perlawanan atas penjajah jepang melalui parikan-parikannya. Betapapun hingga sebelum mbok Narsi manggung malam itu, aku masih sangat merasakan semangat anti kemapanan dalam ludruk. Bagi anggota kelompok ludruk yang didirikan Cak Madun satu tahun setelah kemerdekaan, semacam telah menjalar pemahaman bersama bahwa adanya tobong Wijaya Kusuma bukan untuk urip tapi ngurip-nguripi, bukan untuk mencari penghidupan tapi untuk terus menghidupi tradisi dan menyuarakan kondisi disekitar.
……
Aku ingat, waktu itu awal tahun 1966, Cak Madun mengajak rombongan ludruk Wijaya Kusuma nobong di Nganjuk, di sebuah lapangan di samping rumah Solekan, warga jombang yang menikah dengan perempuan Desa Kali Wetan.
Karena kenal dengan Cak Madun, Solekan banyak membantu kebutuan rombongan, dari ijin lurah sampai mencarikan truk untuk membawa barang-barang tobong.
“Semua sudah tertata?” Tanya Cak Madun tak jelas pada siapa pertanyaan itu tertuju, sekadar memastikan kesiapan tata panggung. “ayo ngelumpuk sik” ajak Cak Madun pada semua anggota tobong, aku pun ikut duduk bersila bersama mbok Narsi, bersandar dibadannya dengan tangan yang masih setia memegangi kotak bedak yang ditugaskan mbok Narsi untuk membawanya.
“Panggung sudah jadi, besok malam kita pentas perdana di kampung Wak Solekan, nah kita mau pentaskan lakon apa untuk besok malam?” tukas Cak Madun ditengah para anggota tobong yang duduk melingkar. “Malaikat Kawin” celetuk Mbok Sarni begitu tegas yang segera disambut tawa khas panjak kendang Slamet dan membubarkan ide-ide yang dipikirkan para pemain yang lain. “Mbok Narsi……mbok Narsi, kamu itu sudah tua masih saja ingin kawin” ujar Slamet ditengah tawanya yang tak henti, mendengar komentar Slamet, Mbok Narsi pun segera bersoloh “Tuek lak umure, kon ga ndelok bodi ku ta? Ijik penuh vitamin rek..!” ruangan semakin riuh dengan tawa. Sementara, aku yang tak mengerti apa yang mereka tertawakan beranjak keluar dari lingkaran, mencari semak untuk kencing.
Saat menuju semak aku lebih dahulu mendapati sepasang sorot mata tajam dibalik semak, di sisi sebelah kiri lapangan, lama kudapati dia dan tampaknya begitu seksama mencuri dengar obrolan anggota tobong, kemudian berlari, dan menghilang tanpa bekas. Sejak saat itu, sosok yang menghilang dari semak menjadi tanda tanya besar dalam hidupku.
….
“Ndak kerja kamu le?” Tanya Mbok Narsi yang tiba-tiba berada disampingku dan membubarkan lamunanku tentang tobong Wijaya Kusuma dua puluh tahun yang lalu, “Hari ini aku di rumah saja Mbok..!, perasaan ku sedang tidak enak” jawabku sambil mengamati Mbok Narsi dengan nafas terengal memperbaiki ikatan sapu lidi yang kendor. “Mbok aku ingat saat kecil, saat bersamamu ikut rombongan tobong”, sejenak kata-kataku meluncur tak sedikitpun nenek tua itu memberi respon, baru kemudian aku sadar, bahwa sikap diam Mbok Narsi, sama hal nya dengan sikap diam yang dulu ditampakkannya saat mendengar kata tobong, ku dapati matanya berbinar menuntun angan ku berlanjut pada malam saat pentas dengan lakon “Malaikat Kawin” dilangsungkan. Sebuah lakon dari seloroh iseng Mbok Narsi yang disepakati anggota tobong.
Saat itu aku melihat dari lubang kecil di balik panggung, mendung sedang bergayut di atas langit Anjuk Ladang, kawasan bertemunya angin timur dan barat. Angin seakan telah menjadi teman karib penduduk Kali Wetan, mereka paham betul bahwa malam itu tak akan turun hujan, karena bintang timur telah menampakkan diri.
Begitulah kiranya pemahaman penduduk Kali Wetan yang kemudian tumpah memadati lapangan. Di sisi lapangan tampak berderet warung dadakan, ada pula pedagang tahu solet, bakul rokok, dan penjual kacang rebus. Aku tak tahu sejak kapan mereka datang dan aku tak peduli karena tugasku saat itu hanya dibalik panggung menjaga kotak bedak, kostum, serta pakaian para pemain ludruk.
Dibalik panggung aku pun tak pernah mengerti apa yang membuat penonton tertawa begitu ramai ketika beberapa pemain termasuk Mbok Narsi memasuki panggung, apakah karena gaya komikal mereka ataukah kekuatan irama kendang panjak Slamet yang begitu piawai mengikuti gerakan para pemain di panggung. Begitulah, malam itu penduduk Kali Wetan, benar-benar larut dalam tawa, terbawa oleh parikan-parikan konyol yang terkadang liar meletupkan soloroh cabul dari pemain ludruk Wijaya Kusuma.
Dibalik panggung aku tak bisa menikmati apapun dan hanya bermain sepotong kayu dan karet gelang. Malam itu langit berhasil mengusir mendung dan bulan leluasa memantulkan sinarnya di pucuk rerumputan. Dari kejauhan aku melihat titik-titik cahaya berbaris, bergerak menuju lapangan.
Angin sepertinya membawa kabur bebunyian gamelan, aku berada dalam kesunyian. Dua bola mataku benar-benar memandang titik cahaya yang berbaris di kejauhan. Namun terhentak kaget ketika dari pandanganku muncul bayangan sosok besar, berlari kearahku, terjatuh sekali, namun begitu cepat bangkit dan terus menuju ke arah ku, aku mundur beberapa langkah dan kudapati setengah mati dia berupaya mengatur nafas kemudian meluncur ucapan yang tampak berat untuk dikatakan.
“Moodd…mod..moddaarrr, lah kalian malam ini…. ” begitu bertenaga ia mengucapkan kata-kata itu, “hei…, cepat naik panggung, panggil Madun dan Mbok Narsi kemari…”bentaknya padaku.
Saat itu aku adalah Somad kecil yang benar-benar ketakutan. ”Cepaaat, katakan padanya ada panjak Kali Wetan”, lelaki yang tadi kulihat sebagai bayangan besar berteriak padaku dan dengan beberapa langkah cepat, aku tiba-tiba berada di atas panggung. Sontak penonton tertawa dan aku baru menyadari telah menjadi bagian dari dunia panggung.
Suasana di panggung tak terlalu ku perhatikan, karena aku lebih memikirkan bayang-bayang yang membentakku dan bagaimana menuruti keinginannya untuk menghadirkan Cak Madun dan Mbok Narsi.
Binar mataku polos menatap wajah garang Cak Madun, “ada panjak Kali Wetan” kukatakan sembari tenaga kecilku mencoba menyeret Cak Madun dan Mbok Narsi, semantara panggung dan kehadiran ku membuat Cak Madun dan Mbok Narsi yang sedang beradegan menjadi ling-lung mendadak, kehilangan kata dan dengan seketika menggendongku keluar panggung, tertinggal mbok Narsi, “lhooo….lho..lhoo…sak iki konangan, wis duwe anak gelap, playumu nang endi tak parani….” Begitulah Mbok Narsi merespon kehadiranku dan dialognya sebagai motifasi untuk keluar panggung, mengejarku dan Cak Madun.
Dibalik panggung Cak Madun tak kuasa melepas cengkraman lelaki yang tadi kulihat sebagai bayangan besar yang kemudian ku ketahui bernama Juwono, panjak dari Kali Wetan yang dahulu pernah bergabung dengan Wijaya Kusuma, namun kini menjadi gembong serikat tani di Blitar, begitu kiranya kudengar lirih dari mulutnya yang didekatkan di wajah Cak Madun, sementara aku dalam gendongannya mendongak memperhatikan dengan jelas dua potret wajah, ketakutan dan kebingungan, kemudian keduanya membaur menjadi teror yang mencekam setelah Juwono menyampaikan berita pembubaran tobong.
Juwono menarikku dari gendongan Cak Madun dan mengoper badan kecilku ke bahu Mbok Narsi sambil membisikkan sesuatu dan tiba-tiba kami berpencar pontang-panting seperti gerombolan orang yang kesurupan, dengan tenaga limbung aku di bawa lari Mbok Narsi ke semak-semak yang menuju ke arah sungai. Aku rasakan betul dadanya berpacu kencang.
Saat itulah aku kembali menghadap titik-titik cahaya dan kini telah berubah menjadi semacam pucuk-pucuk api yang saling berkumpul menjadi delapan bagian yang berderet, dengan gemuruh yang membuat jantung siapapun berdegup,”Ganyang PKI….Ganyang PKI….Ganyang Lekra…”.
Titik api itu semakin jelas adanya adalah obor yang di bawa oleh pelbagai sosok dengan mata garang yang terus berteriak dari atas truk yang setelah dewasa ku ketahui sebagai truk komando. Aku kerutkan dahi untuk mendapati lebih jelas pemandangan itu, namun guncangan di bahu Mbok Narsi membuat semuanya kabur. Memang malam itu semua berupaya kabur, angin pun tiba-tiba kabur, “Mbok kita mau kemana?”tanyaku. Bukan jawaban yang ku terima, tetapi mendadak aku dilempar ke atas lumpur persawahan, sementara itu mata ku tak mau lepas menoleh kebelakang, melihat titik api itu buyar, menyebar ke segala penjuru tobong dan sisi lapangan.
“Ganyang PKI…Ganyang….Lekra, Bangsat, kepalang Laknat, Ganyang Gembong Setan..”, meskipun lirih masih sayup ku dengar teriakan dilapangan, seperti kulihat juga cahaya malam memantul jelas dari mata Mbok Narsi yang semakin berair, bedak dan gincu menor itu luntur oleh keringat. Dengan cepat Mbok Narsi melepas sanggul yang bergelantungan di pundaknya, kemudian dengan tenaga lelakinya ia mengambil ancang-ancang dan melompat tepat disampingku, terjerembab, lututnya belepotan lumpur, namun bergegas menyeret ku, menyibak tanaman padi yang masih sangat muda.
Beberapa saat, gemuruh dilapangan Kali Wetan halus berganti dengan gemuruh air sungai yang terdengar seakan menawarkan perlindungan dan betapa kami telah merasa cukup jauh dari lapangan, menyaksikan asap putih menggumpal diatas tobong Wijaya Kusuma, Mbok Narsi menggendongku, tangannya menutup erat dua mataku, terasa kasar, keringat yang bercampur lumpur, dan aku dibawanya lari hingga pulas, tak terasa aku sudah tertidur, berada diayunan dokar dan entah membawa kami menuju kemana.
….
Plak…! Mbok Narsi yang sejak tadi duduk disampingku, tiba-tiba menamparku “jangan kau ingat lagi pelarian itu”, aku terperanjat kaget dengan keringat yang benar-benar menetes dari kening dan merayap keseluruh permukaan tanganku yang terasa bergetar. Bangsat..! aku benar-benar sadar telah begitu jauh larut dalam petualangan dua puluh tahun masa laluku.
Seketika kujulurkan tanganku, ku ambil segelas kopi dan ketenggak habis hingga pahit ampasnya yang dingin itu tak kurasa. Kemudian kusingkirkan keringat bangsat di dahiku, sementara ku dapati pula pipiku juga basah entah karena keringat bangsat itu ataukah dari air yang bersumber di sudut pelupuk mataku. Persetan, tak akan aku pedulikan, karena apa yang ada di kepalaku saat ini tak kuasa ku tahan untuk segera ku tanyakan, “Aku anak siapa Mbok, kau lelaki tak mungkin melahirkan?”, “diantara tobong yang tebakar itu ada tubuh bapakmu”, “gembong komunis, yang menolak mentah ketenarannya sebagai panjak Kali Wetan, bajingan berkumis yang menitipkan bayinya padaku lima tahun sebelum tobongku terbakar, namun mendadak dia hadir kembali, mengumpat dan menyuruh kita berlari, sementara tubuhnya hangus terbakar karna menyelamatkan kita…”.
Tiba-tiba mataku kosong, menyadari nada bicara Mbok Narsi yang semakin memuncak memaksakan nafas tuanya yang tipis, mengantarku pada sosok Juwono, bayangan besar yang mucul dari semak kali wetan sebelum semuanya menjadi abu.
Terik dan geliat kehidupan diluar tak sedikitpun berani mendekati aku dan Mbok Narsi yang sedang berkecamuk dalam perang masa lalu, kudapati hidung tuanya menarik cukup banyak udara disekitar, “Somad, Kau, anak Juwono”, itulah kalimat pendek Mbok Narsi, begitu mantab, dan membekapku dalam kebisuan, menyadari darah yang bergejolak dan mengaliri nadiku adalah darah Juwono, Panjak alias pemukul gamelan yang tersohor di Kali Wetan, yang hangus tubuhnya menjadi tumbal ruh Komunisme di tanah jawa. Pada sudut yang lain kudapati pula luka yang mengutuk sekujur tubuh mbok Narsi sebagai wandu, karena dominasi agamalah yang melarang peran wanita di atas panggung ludruk dan dominasi agama pula yang kemudian melarang keras ketika tubuh lelaki Mbok Narsi tak kuasa merubah peran wanita yang biasa ia lakoni di panggung dan membawanya ke dunia keseharian sebagai seorang wandu.
….
Dipeluknya aku erat-erat dalam derai air mata jiwa seorang wandu, didekatkan mulutnya di selembar telinga kananku, “kuburkan aku sebagai lelaki, nanti jika aku mati, dan biarlah puas ku kutuk mulut rohaniawan itu dalam kubur….”, sebuah pesan terakhir yang mengantarkan cahaya mentari tepat di ujung atap gubuk tua, pusara derita yang menyisakan aku bersama Mbok Narsi, terkapar, bergumul makian dan sumpah serapah, ditengah hiruk pikuk pinggiran kota yang menyimbolkan warna merah dan hijau dalam satu ikatan padu.
Ah.. Bangsat Aku Bukan Siapa-siapa..!
-Selesai-
Lamuk, 16 Agustus 2010
Read More..
 
Design by Pocket