Selasa, 08 Februari 2011

Menata Pertanian Setelah Erupsi Merapi

Selasa, 08 Februari 2011 0


Kondisi setelah erupsi Merapi membuat warga Dusun Treko Magelang harus menata kembali kehidupan mereka. Pelbagai persoalan yang muncul pasca bencana seperti, perekonomian yang terhenti satu bulan lebih karena warga mengungsi, lahan pertanian yang harus diolah kembali, dan persoalan lain diperbincangkan dalam rembug warga Dusun Treko (22/01/2011). Pertemuan tersebut dilangsungkan di rumah Sutari, salah satu pamong di Dusun Treko, dari pukul 20.00 hingga 23.20 WIB.

Debu vulkanik Merapi yang dahulu menutupi persawaan milik warga dan membuat petani gagal panen, kini diharapkan mampu membuat tanah menjadi lebih subur. Pengetahuan tentang pengelolan lahan yang tepat sangat dibutuhkan warga. Melihat kebutuhan tersebut, Forum Warga Bantul dan infest Yogyakarta terlibat dalam pertemuan untuk membantu menggali pelbagai pendapat dari 25 kepala keluarga yang menghadiri pertemuan.

Muhyidin, pegiat Forum Warga Bantul sekaligus Ketua Lakpesdam NU Bantul, mengawali diskusi dengan memetakan persoalan yang sedang dihadapi warga. Sebagian besar persoalan yang ditangkap adalah persoalan pertanian. Warga Dusun Treko mayoritas adalah petani, mereka juga merawat lembu gaduh (ternak titipan), namun pengelolaan pertanian dan peternakan masih mereka lakukan dengan tingkat ketergantungan yang cukup tinggi pada sumber daya diluar mereka.
Muhyidin, Ketua Lakpesdam NU Bantul saat memfasilitasi rembug warga Treko


Saat sesi pemetaan, warga menyampaikan pelbagai kebutuhan pertanian yang masih harus penuhi dengan membeli atau berhutang. Persoalan pupuk misalnya, warga baru menyadari jika salah satu pupuk yang mereka beli ternyata mampu mereka produksi sendiri. Hal ini terjadi ketika Muhyidin meminta salah satu warga menunjukkan pupuk cair yang mereka beli. Setelah mengamati, Muhyidin menyampaikan jika pupuk organik cair yang dibeli warga diproses dari air kencing lembu, sesuatu yang sangat mudah didapat warga karena sebagian besar petani juga merawat lembu.

“ini bukan persoalan kita tertipu, namun distributor pupuk tersebut memiliki pengetahuan lebih dulu dari pada kita dalam mengelola air kencing sapi,” tutur Muhyidin.

Setelah mengurai beragam persoalan seputar pertanian, warga kemudian sepakat membuat kelompok-kelompok kerja. Kegiatan perdana yang akan dilakukan kelompok kerja adalah membangun fasilitas penampungan limbah di sekitar kandang lembu. Lima kelompok kerja, masing-masing dikoordinir oleh Sutari, Wiyoto, Nur, Pikir, dan Karni. Kelompok kerja tersebut menyepakati dana stimulan dari bantuan yang digalang infest untuk digunakan secara bergulir.

Berbekal perencanaan yang disusun pada pertemuan rembug warga, setiap kelompok kerja akan membangun penampungan limbah kotoran sapi di salah satu kandang milik anggota kelompok untuk dijadikan percontohan. Kemudian pupuk yang dihasilkan akan dibeli oleh anggota kelompok hingga dana bergulir terkumpul kembali dan digunakan membangun kandang milik anggota yang lain. Begitulah seterusnya hingga setiap anggota kelompok memiliki fasilitas penampungan limbah kotoran sapi dan mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pupuk.

Upaya secara perlahan akan dilakukan tim fasilitator infest dan Lakpesdam NU Bantul untuk mendampingi warga Treko, agar secara bertahap masyarakat menjadi mandiri dan lebih berdaya dengan memaksimalkan sumber daya di sekitar mereka.(LMX)
Read More..

Budidaya Cacing, Manfaatkan Limbah Rumah Tangga


Limbah rumah tangga hingga saat ini belum mendapat perhatian dari masyarakat. Air detergen buangan dari kegiatan mandi, cuci, kasus (MCK), serta produksi sampah rumah tangga masih dianggap wajar dan aman untuk tidak dikelola. Padahal sisa buangan rumah tangga tersebut dapat membahayakan manusia dan lingkungan. Pengalaman Fathulloh (24), selama tinggal bersama 5 kawannya di rumah kontrakan, terkumpul satu bak besar sampah setiap hari. Selain menimbulkan bau, udara disekitar menjadi tidak nyaman. ”jika setiap hari satu rumah menghasilkan sampah sebanyak itu, maka benar jika pemkot Jogja mengatakan TPA Piyungan akan penuh pada 2012″ tambah Fathulloh. Limbah rumah tangga akan terus diproduksi, apabila tidak segera terkelola pencemaran lingkungan akan semakin parah pula.
Melihat kondisi diatas Baning (43), pegiat lingkungan hidup Jogja, dalam satu kesempatan pernah berbagi cara mengelola limbah rumah tangga lewat budidaya cacing tanah. Cacing tanah berwarna merah atau dalam bahasa latin di sebut Lumbricus Rubellus merupakan hewan pengurai yang sangat baik, cacing dapat mengurai sampah organik dan mengubah menjadi pupuk yang disebut “KASTING” yang sangat bermanfaat untuk tanah.
Selain menjadi pupuk, cacing ternyata kaya protein dan sangat baik untuk diolah menjadi pakan ternak. Mengelola limbah rumah tangga lewat budidaya cacing dapat dilakukan lewat langkah berikut:
1. Beli cacing bersama media dan kotak untuk memeliharanya.
2. Pilah sampah organik dan non organik.
3. Sediakan tempat sampah tambahan untuk sampah organik.
4. Pilah Sampah organik berupa sisa-sisa memasak dari dapur seperti, sisa nasi,
potongan sayur, buah, dll di kotak sampah khusus.
5. Biarkan sampah organik membusuk sebelum diberikan pada cacing.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait perawatan cacing, antara lain:
1. Pastikan kelembapan pada media hidup cacing, cacing tidak suka panas, jika memerlukan siram media dengan air.
2. Pastikan sampah organik yang akan diberikan cacing telah hancur atau dipotong kecil-kecil.
3. Pastikan keseimbangan populasi cacing dengan ketersediaan sampah organik setiap harinya. Satu kilo cacing dewasa sanggup menghabiskan bahan makan seberat bobot tubuh mereka setiap harinya, cacing akan terus bertelur dan berkembang biak.
Saat populasi cacing tidak seimbang dengan ketersediaan sampah organik, cacing dapat dipanen, untuk diolah menjadi pakan ternak. Ketika dipanen, media hidup cacing diganti dan media yang lama dipanen menjadi pupuk.
Setiap rumah tangga dapat membuat sirkulasinya sendiri. Lahan sekitar rumah bisa dimanfaatkan untuk membuat kolam ikan, air kolam diambilkan dari air buangan kamar mandi yang dialirkan melalui saluran yang telah dipasang saringan pembersih air (bebatuan, arang, jerami, serabut kelapa, dll), cacing yang dipelihara dapat dijadikan pakan ikan, ikan dipanen dan diolah menjadi lauk untuk konsumsi keluarga, begitulah sirkulasinya.
Budidaya cacing selain mendukung pengelolaan limbah rumah tangga juga memiliki potensi ekonomis apabila dikembangkan dalam skala besar. Hingga saat ini harga 1 kilogram cacing kualitas super mencapai Rp.50.000,-, dengan mengumpulkan sampah organik dari lingkungan sekitar, budidaya cacing oleh kelompok-kelompok di masyarakat dapat dijadikan gerakan alternatif untuk mengolah limbah rumah tangga. (LM)
Rujukan berupa gambar proses budidaya cacing dapat dilihat disini / sumber gambar di www.idepfoundation.org
Read More..

Warga Banyumas Galang Komitmen Perlindungan BMI


Komitmen bersama mewujudkan perlindungan buruh migran Banyumas terus digalang oleh Paguyuban Perlindungan Buruh Migran dan Perempuan “Seruni” bersama Forum Solidaritas untuk Buruh Migran (Forsa BUMI) Kabupaten Banyumas. Sabtu (18/12/10), bertepatan dengan hari buruh migran sedunia, Forsa Bumi menggelar diskusi publik dengan tema “Membangun Komitmen Bersama untuk Perlindungan Buruh Migran” di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jenderal Soedirman (FISIP UNSOED).

Diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai pihak seperti Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten, Anggota DPRD, Dinsosnakertrans, Pejabat Imigrasi, Akademisi Kampus, Perwakilan PPTKIS, hingga berbagai lembaga/organisasi swasta di Banyumas. Hadir sebagai pembicara Tyas Retno Wulan (Pusat Penelitian Gender), Yoga Sugama (Anggota DPRD), Kartiman (Dinsosnakertrans), dan Rita (LBH Perisai Kebenaran), selama acara mereka dipandu oleh Jarot, Pegiat Rumah Aspirasi Budiman.

Saat diskusi berlangsung, satu persatu pembicara menyampaikan bebagai upaya perlindungan buruh migran yang telah dilakukan lembaga atau instansi yang mereka wakili. Persoalan yang paling disoroti selama diskusi ialah koordinasi yang kurang padu (sinergi) antara lembaga pemerintah. Yoga Sugama, perwakilan DPRD dengan tegas mempertanyakan janji Bupati Banyumas untuk membangun perekonomian daerah di tiap Kecamatan. “Jika janji Bupati membangun sektor industri daerah terwujud, Saya yakin angka pengiriman TKI akan turun drastis” Tutur Yoga Sugama.

Persoalan sinergi yang belum terbangun antar lembaga pemerintah tentang penanganan buruh migran juga disampaikan Tyas Retno Wulan. 80% persoalan buruh migran dijumpai saat buruh migran masih di Indonesia. Persoalan yang harus segera diurai justru persoalan di dalam negeri, salah satunya adalah membangun sinergi puluhan lembaga pemerintahan yang bersentuhan dengan penanganan buruh migran. “Hal yang sangat menyedihkan adalah statement SBY untuk membekali TKI dengan HP, ini sangat menunjukkan pemerintah tidak paham dengan subtansi persoalan TKI” papar Tyas, Dosen sekaligus Peneliti PPG Unsoed.

Diskusi berjalan semakin menarik, berbagai persoalan yang sebelumnya menjadi batu sumbatan diungkapkan secara terbuka di forum, perwakilan PPTKIS misalnya, mereka mempertanyakan prosedur pembuatan dokumen yang rumit, sehingga berpotensi penyesuaian dokumen atau pemalsuan identitas. Keterangan tersebut ditanggapi perwakilan aparat desa dengan fakta lapangan, bahwa banyak sekali calon buruh migran yang tidak mendapat rekomendasi dari pemerintah desa namun tiba-tiba lolos untuk berangkat ke luar negeri, ini membuktikan ada masalah pada alur rekomendasi dan prosedur keberangkatan TKI.

Diskusi yang masih berjalan menarik harus segera diakhiri moderator karena waktu yang terbatas, namun diakhir diskusi, Rita, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perisai Kebenaran menyampaikan gagasan membuat nota kesepahaman tiga pihak, dalam hal ini Pemerintah diwakili Dinsosnakertrans, PPTKIS diwakili APJATI, dan serikat buruh migran untuk membangun prinsip bersama untuk perlindungan buruh migran Banyumas. Menambahkan gagasan Rita, Tyas Retno Wulan berharap pada berbagai pihak yang hadir dalam diskusi publik, agar rekomendasi tentang upaya membangun sinergi perlindungan buruh migran tidak berhenti setelah diskusi, namun terus dikawal dan ditindaklanjuti

Read More..

Berharap Pulihkan Pertanian, Korban Letusan Merapi Butuhkan Pupuk


Setelah seminggu terakhir posko JMN menerima banyak permintaan logistik dari korban letusan merapi yang mulai kembali ke kampung halamannya. Jum’at 19 November 2010 beberapa pesan singkat masuk ke nomor telepon genggam tim media JMN, salah satu pesan singkat datang dari Didik Mulyani asal Sawangan Magelang yang menyampaikan permintaan bantuan pupuk untuk petani di daerah Magelang yang lahan pertaniannya tertimbun abu vulkanik.

Beberapa pesan dengan permintaan yang sama juga masuk, namun Posko JMN tidak dapat berbuat apa-apa, selain detail data yang belum masuk, pegiat atau relawan di Posko JMN juga belum membicarakan persoalan perbaikan lahan di sekitar lereng Merapi. Pembicaraan pegiat posko masih seputar upaya menyembuhkan tauma lewat inisiasi terapi buku (bibliotheraphy).

Endapan vulkanik dalam waktu tertentu memang mendukung kesuburan tanah, namun pengetahuan pengelolaan tanah setelah letusan merapi menjadi sesuatu yang harus segera disosialisasikan. Sedang disisi lain petani terkena dampak merapi sudah tidak memiliki kekuatan secara ekonomi untuk kembali mengolah lahan.

Sektor ekonomi secara umum dan pertanian secara khusus harus menjadi perhatian pokok bagi pemerintah semala tahap perbaikan (recovery) setelah aktivitas Merapi reda.
Read More..

Nira Kering, Petani Gula Kelapa Kehilangan Mata Pencarian


Gula kelapa diproduksi dari nira yang disadap dari batang buah pohon kelapa. Rasa manis gula kelapa kini tak semanis nasib petani penyadap nira di daerah Magelang. Letusan Merapi sejak 26 Oktober 2010 membuat pohon-pohon kelapa banyak yang mati.

Penduduk Dusun Bubusan Desa Teran Gede Kecamatan Salam Magelang misalnya yang sebagian besar menggantungkan mata pencariannya lewat kegiatan menyadap nira dan memproduksi gula kelapa kini tidak bisa berbuat apa-apa dikarenakan pohon kelapa milik warga mati.



“Karena letusan merapi, buah kelapa menguning dan ketika dibelah sudah tidak ada airnya” ujar Andri (30) salah satu petani nira di Bubusan. Sama halnya warga di Bubusan Salam, Sujarwo (54) warga Dusun Butuh Mungkidan Sawangan Magelang juga mengeluhkan pohon-pohon kelapa miliknya yang mati.

Kejadian tersebut menurut dosen ilmu fisika tanah UGM, Prof Dr Ir Bambang Djatmo Kertonegoro MSc dikutip dari detikcom, Senin (8/11/2010) dijelaskan berbagai tanaman mati karena partikel yang terkandung pada abu vulkanik menempel di daun dan menyebabkan mulut daun tertutup. Hal tersebut menyebabkan daun tidak dapat menyedot oksigen (mengganggu respirasi). Selanjutnya proses fotosintesis menjadi terganggu. Dalam kondisi mulut daun yang tertutup lama, tanaman akan menjadi layu.

Dukungan pakar pertanian dan tanaman untuk meneliti laik tidaknya keasaman tanah yang tertimbun abu vulkanik untuk kembali ditanami sangat diperlukan, sementara masyarakat masih penghasil nira masih mengandalkan kebutuhan sehari-hari dari bantuan Read More..

 
Design by Pocket