Rabu, 29 April 2009

“Plencung Two” : Upaya teater Ruang mengamankan sisa tanggul Budaya

Rabu, 29 April 2009


"Bapak ku sopo....ibuk ku sopo...." dan "kaline Banjir, dam e ambrol, banjir henpon, bajir kulkas, banjir tivi, banjir sepeda motor......", "Tooooongggggg, tooong..."

Dialog sosok gadis kecil tersebut mengawali dan menjadi puncak emosi pada Pagelaran Jagongan Wagen edisi April 2009 yang menampilkan pementasan naskah “Plencung Two” Teater Ruang, Senin 27 April 2009 di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja, Tamantirto, Kasihan, Bantul. Teater RUANG sebagai Kelompok teater yang didirikan pada tanggal 30 Juni 1994 ini, memang sering menggarap pertunjukan dengan tubuh sebagai media utama dan materi minimal sebagai media pelengkap dalam setiap pementasan mereka. Selain itu juga menggarap lakon-lakon berbahasa Jawa yang merefleksikan situasi sosial, serta karakter yang khas dari teater ruang dalam mengangkat isu-isu globalisasi, modernisasi dan arus gempuran budaya asing di negeri ini.
“Plencung Two”, dihantarkan lewat tembang Sinom ”SULUK PLENCUNG” yang bercerita nama-nama setan yang menghuni pulau Jawa oleh seorang gadis kecil dengan permainan korek api sebagai medium pencahayaannya. luar biasa, permaiana korek api dipadu gerak ritmis, menjadi bagian awal yang mengejutkan pemonton. hingga Plencung dinyalakan, Plencung sebuah lampu tradisional. Terbuat dari bambu yang di atasnya diberi gumpalan tanah merah lalu dilecutkan atau dilencungkan, biasanya alat ini dipakai untuk mengusir burung di persawahan. kemudian permainan gerak menjadi perhatian luar biasa para penonton ketika adekan sosok tanpa kepala berjalan kedepan dan kebelakang plencung. tampak pada adegan tersebut sang aktor seakan benar-benar terpenggal kepalanya padahal dalam kondisi sebenarnya, sang aktor menengadahkan kepalanya benar-benar kebelakang hingga dilihat dari depan kepala sang aktor tak tampak, namun permainan cahaya plencung menjadi bagian kuat adegan per adegan. cahaya minim plencung dengan nuansa mistis mengejutkan penonton lewat sosok gadis kecil yang sekan terangkat dan terbang berputar-putar sebagai gerak simbolik jebolnya bendungan budaya kita.

hal menarik lainnya adalah pencarian bentuk gerak di luar kemampuan fisik manusia umum. misal adegan 2 aktor berjalan dengan kepala dan 2 buah tangan sebagai kaki, split dan salto-salto. ketika seorang penonton bertanya pada mas Bibit "kenapa mas...pola latihan teater Ruang terkesan militeristik dan tidak manusiwi, dimana belajar berjalan dengan tangan dilakukan sampai tangan aktor bengkak dan bl..bla..bla.." sedikit tersenyum mas Djoko Bibit, pimpinan Teater Ruang menjawab"ketika proses kita semacam itu dalam rangka pencarian dan pemaksimalan fungsi serta gerak tubuh maka akan berbeda ketika manusia hanya memfungsikan tubuh duduk sekian lama di depan televisi, tidur-tiduran sambil menelfon, bersepeda motor kemana-mana dan sekarang mana yang lebih manusiawim antara melatih dan memaksimalkan fungsi tubuh atau melakukan hal2 macam disebut tadi?".

"Plencung Two" menyampaikan kritik sosial dimana Benda2 yang sifatnya bukan kebutuhan utama masyarakan kini telah menjadi bagian dalam kehidupan yang harus dan mau tak mau dipenuhi meskipun kemampuan materi tak mendukung. hal sederhana ditangkap dari kehidupan di sekitar sanggar teater Ruang yang terletak di Pereng Tanggul Kalurahan Danukusuman - Surakarta. anak petani ngambek memaksa dibelikan HandPhone, para pemuda desa menuntut beli motor dan ragam contoh lainnya.

Sajian teater Ruang tampaknya benar2 berangkat dari proses latihan yang panjang kurang lebih yang disebutkan mas Bibit adalah waktu selama 7 bulan. dengan tantangan memilih waktu latihan malam sampai menjelang subuh. keterlibatan anak-anak desa sekitar bermula dari niat mereka menonton mas Bibit dan kawan2 latihan hingga oleh mas Bibit mereka diajak latihan, bergerak bebas dan baru oleh Mas Bibit diterjemahkan dalam sebuah naskah.

Wehhh.. keren kali eui.....

0 komentar:

 
Design by Pocket